Sabtu, 24 Juli 2010

Lelaki Paruh Baya

Sang rembulan hendak bersiap-siap meninggalkan tugasnya di langit, pada waktu yang bersamaan seorang lelaki terjaga bersiap-siap memulai tugasnya. Dari kerutan kulit yang mengendur diantara dagu dan leher, kontur rambut yang nyaris memutih seluruhnya, bisa dikatakan usianya tak lagi jauh dari maut. Namun jangan remehkan semangatnya yang tak kalah dari pemuda gagah.

*****

Begitulah kesan yang kutangkap setelah bertemu dan bertukar sapa beberapa kali, orang-orang memanggilnya Pak Kadu. Dalam gerbong yang sama, kereta ekonomi jurusan Karawang-Jakarta. Meski amat miris kondisinya, mungkin inilah model transportasi yang cocok bagi orang-orang berkantong cekak.

Seperti biasa, sebelum adzan subuh berkumandang dikejauhan, stasiun telah penuh sesak dengan arus manusia pencari harapan menuju kota metropolitan. Tak muluk harapan mereka. Hanya berharap menyambung hidup hari demi hari, dari penghasilan pas-pasan memerah tenaga.

Dikursi bagian dalam, persis tengah-tengah gerbong kereta, aku menempatkan diri dengan nyaman. Sambil menengok ke luar jendela, menunggu menit-menit pemberangkatan. Selang beberapa saat, klakson kereta berbunyi, tanda masinis menjalankan roda-roda kereta. Biasanya perjalanan Karawang-Jakarta menempuh waktu sekitar satu jam lebih. Disebut lebih karena tak mungkin kurang dari sejam, seringnya selalu lebih, maklum kereta ekonomi, entah alasan kerusakan mesin, entah alasan ada halangan pada jalur yang hendak dilalui, yang pasti tak ada kompensasi atas kehilangan waktu penumpang, hanya sekedar permintaan maaf yang kronis.

Beberapa saat kereta melaju, tiba-tiba ada tangan ringkih menepuk bahuku dari belakang. “Apa kabar, Nak?”, tegur lelaki paruh baya itu, yang tak asing lagi. “Oh, baik Pak”, sahutku setengah terkejut. Segera ia mengambil duduk disebelah kursi yang kebetulan kosong. Setelah menghela nafas sejenak, ia melanjutkan pembicaraan.

“Hari ini agak telat bangun, belum sempat mengisi perut, cuma menyeruput sedikit kopi hangat bikinan istri”, begitu gumamnya.

Ya, aku tahu, dari guratan diwajahnya terlihat penampilan yang kurang terbasuh air. Mungkin terburu-buru mengejar waktu yang mepet. Mengejar jadwal keberangkatan kereta. Telat menginjakkan kaki beberapa menit di stasiun, harus mengulang antrian kereta berikutnya.

Selama perjalanan ia tak henti berkisah tentang perjalanan hidup berliku, yang ia lalui sebagai buruh kontrak, selama puluhan tahun. Dari penuturannya, aku tahu ternyata beban hidupnya cukup berat. Dengan upah harian yang hanya cukup menutupi ongkos dan memberi makan keluarga seadanya. Lauk hewani amat langka tersaji sebagai hidangan harian. Pasangan tempe-tahu lebih biasa menemani nasi. Kadang baluran kecap manis atau taburan garam terasa nikmat menemani nasi, dikala menganggur, menunggu panggilan kerja berikutnya. Lebih baik daripada tak ada sesuatu untuk mengganjal perut, yang tiap hari minta di-isi.

Tanpa terasa tujuan semakin dekat, mengobrol sepanjang perjalanan dalam alat transportasi yang serba ekonomis, sungguh mengalihkan kejengkelan. Begitu terdengar suara mendecit rem, perlahan laju kereta berkurang teratur. Masing-masing bergegas menjejali area sekitar pintu kereta.

Perjumpaan singkat hari itu berakhir, terucap salam tanda memisahkan diri, lantai stasiun menjadi pijakan pertama di kota metropolitan dalam memulai peranan, aku sebagai pelajar, si lelaki paruh baya sebagai buruh kontrak harian.

*****

Hidup seperti komedi putar, mengulang ritme yang sama, berputar tanpa bergeser dari porosnya…..

Tak banyak pilihan bagi orang-orang berkantong cekak, segalanya serba terbatas. Bagi yang masih beruntung bisa menempuh pendidikan, tempuh sebaiknya. Untuk itulah pagi buta, hawa dingin, tak menghalangi bangkit dari tidur. Membasuh tubuh, mencicipi sarapan gorengan. Segera menuju stasiun, mengulang ritme yang sama, layaknya permainan komedi putar. Kali ini gerbong kereta agak sepi dari biasanya, suasana lenggang cukup terasa. Mungkin langit mendung dan gerimis tipis hari ini menghalangi langkah kaki mereka. Satu per satu penumpang kali ini cukup jelas berada dalam jangkauan pandangan. Tak seperti biasanya yang tampak mirip kerumunan orang di pasar tradisional. Semrawut!

Ternyata Pak Kadu telah mendahului diriku. Ia memilih tempat dikursi pinggir, agak depan dari gerbong. Tampak jelas dari kontur rambutnya yang khas, bergelombang pada ujungnya, dengan uban yang memenuhi kepala. Aku menghampiri, menyapa, dan meminta izin duduk dikursi sebelah dalam yang kosong.

Pada kesempatan bertemu pagi ini, wajah Pak Kadu kelihatan muram, tanpa rona semangat. Sepertinya memendam suatu persoalan yang mengaduk batin. Beban apa yang dihadapinya, sampai getaran gejolak batin turut mempengaruhi struktur garis-garis wajahnya. Lebih banyak diam daripada berbicara. Tak banyak kata yang meluncur dari bibirnya. Hanya tegur sapa pertama pas bertemu, tentu dengan ekspresi yang datar. Ragu rasanya melontarkan sebuah pertanyaan pemecah kebuntuan.

“Stagnasi!”, jerit batinku.

Kondisi suasana yang paling kubenci. Sungguh tak mengenakkan. Mau tak mau harus kuikuti arus suasana begini. Apalagi hati kecil tanpa keberanian untuk menerobos stagnasi dengan pertanyaan.

“Saya lagi bingung”, suara Pak Kadu mengalun setelah setengah jam hening sejak keberangkatan.

“Bingung kenapa, Pak?”, balasku penasaran.

“Minggu depan aku dan puluhan rekan tiba-tiba disuruh mengajukan pengunduran diri, tanpa alasan yang jelas”, jawab Pak Kadu. “Padahal harusnya masih enam bulanan lagi”, sambungnya. Ia lalu melanjutkan cerita pengalaman masa lalu yang pahit. Buruh nyaris tak memiliki posisi tawar yang bagus. Ternyata para korporat yang pandai berhitung itu, masih menganggap buruh sebagai faktor produksi belaka. Efisiensi berlandaskan hitungan kalkulator mengalahkan loyalitas, yang tentu saja tidak bisa dihitung kalkulator.

Sambil menerawang di kejauhan, Pak Kadu kembali bercerita, dulu dia dan beberapa rekannya pernah memperjuangkan ketidakadilan ini. Mereka berkumpul, berserikat, membentuk semacam wadah guna menampung aspirasi orang-orang senasib. Tapi tidak lama, keburu dibubarkan paksa. Stigma ekstrim kiri dialamatkan ke dirinya dan rekannya, antek komunis! Simbol palu dan arit dilekatkan ke dada. Masih segar dalam ingatan, bagaimana ia dan rekannya dilempar ke atas truk tentara, membawanya ke suatu tempat interogasi.

“Sudahlah, aku tidak mau mengingat teror menakutkan itu lagi”, sergahnya.

Mimiknya berubah, garis wajahnya mengerut, pengaruh ingatan momen kelam yang menstimulasi biokimia di otak. Sejenak ia menenangkan diri, menghirup udara segar pagi, lalu mengalihkan sedikit pandangan keluar jendela.

Meski sekarang iklim perimbangan kekuasaan telah berubah, namun tak serta merta ikut mengubah perimbangan daya tawar kaum buruh. Yang ujung-ujungnya tidak banyak mengubah garis hidup mereka.

Meski wajah korporasi semakin bersolek, tak lagi menampakan kesangaran, namun wajah buruh menyiratkan kecemasan, seperti yang barusan kulihat.

Beginilah buruh…

Disayang… dan melayang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar