Sabtu, 03 Juli 2010

Bebas?

Human condemned to be free....
~ Jean Paul Sartre ~


Kalimat tersebut meluncur dari seorang Perancis, filsuf terkemuka yang mengembangkan paham eksistensialisme (1905-1980). Menurut Sartre, setiap manusia adalah individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas. Bahkan saking hakikinya, beliau memilih kata yang agak keras, yaitu terkutuk. Secara harfiah condemned berarti terkutuk.

Dalam filosofi Sartre, kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Pandangan berupa embrio liberalisme kontemporer. Landasan menuju globalisasi segala sendi kehidupan. Model pengembangan yang terbanyak dianut pada milenium sekarang.

Tidak salah memang, Sartre berkata demikian, dalam aspek spiritual manusia, memang tidak terlepas dari fitur kehendak bebas (free will). Fitur tersebut tak bisa di interupsi, selama manusia itu sendiri eksis. Selaras Rene Descartes, “I think, therefore I am”, kenyataan bahwa yang pasti itu kemampuan berpikir, dengan derivatif berkehendak.

Bisa dipastikan milyaran umat manusia, dengan segala macam atribut, ingin memiliki kebebasan dan bertujuan mencapai kebebasan.

Dalam kaitannya dengan ranah spiritual Buddhisme, dinamai nirvana. Namun dalam Open The Door's Heart, kebebasan dalam perspektif Buddhisme terbagi dalam dua, yaitu freedom to desire dan freedom from desire (Ajahn Brahm, 2007). Dalam eksistensialisme Sartre, tampak kontras dengan yang pertama.

Karena eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan. Maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Meskipun terkadang dalam tindakan, tidak peduli mana yang benar, mana yang salah, sebab segalanya relatif menurut kaum eksistensialis.

Pertanyaan utama yang sering muncul dalam dialektika Sartre adalah apakah kebebasan itu? Bagaimanakah manusia yang bebas itu? Lantas apakah relevan menjawab dialektika Sartre menggunakan pendekatan Ajahn Brahm?

Apakah kebebasan itu hanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu hasrat (desire) ? Apakah benar manusia yang bebas itu, bebas dari hasrat? Bagi Sartre, hasrat itu sendiri bagian dari kebebasan. Dan kebebasan manusia ini sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan.

Filosofi Sartre menekankan pada kemanusiaan yang erat kaitannya dengan perasaan, jiwa dan kehidupan. Tidak terpisahkan satu sama lain, utuh, satu kesatuan. Lebih tepatnya eksistensi mendahului esensi. Jadi sebelum manusia eksis tidak mungkin muncul esensi. Amat bertolak belakang dengan Ajahn Brahm dalam filsafat Buddhisme.

Tentu tidak mudah menjawab persoalan tersebut. Masing-masing memiliki argumen sendiri. Semuanya bebas berfilsafat, bebas menentukan selera masing-masing. Sebebas keputusan Sartre yang menolak hadiah nobel sastra tahun 1964.


TH 030710

Tidak ada komentar:

Posting Komentar