Tanpa sengaja seorang teman meminjamkan sebuah buku yang isinya bagi sebagian orang sangat mengejutkan, bahkan memuakkan barangkali. Disitu berisi kisah yang amat menyentuh, tak terpikirkan, dan boleh dibilang mengusik kenyamanan komunitas tertentu. Terlepas dari benar atau tidaknya isi buku tersebut, tentunya kita tidak bisa mengabaikan begitu saja makna yang terkandung. Lebih bijaksana rasanya bila kita menyerap apa yang bermanfaat dan sebaliknya. Lagipula saya tidak berkompeten untuk menilai benar atau tidaknya isi buku tersebut. Posisi saya hanya berfungsi sebagai penyampai apa yang menurut saya menarik untuk disampaikan, atau dengan sedikit memaksa (Hehe...), layak dan pantas untuk disampaikan.
Dikisahkan bahwa seorang perempuan yang selama ribuan tahun distigma, dicap, lebih tepat difitnah dengan sebutan yang kurang pantas. Ribuan tahun lamanya, sebagian besar orang tidak mengetahui kisah tersebut, karena beberapa hal yang rumit. Terbungkus dengan rapi, boleh dikatakan sebagai kategori top secret dalam dunia intelijen.
Seiring dengan berjalannya waktu, sekaligus kedewasaan dalam beradab dan berbudaya, kebenaran tersebut semakin terkuak secara perlahan tapi pasti. Bukti-bukti otentik yang diketemukan beberapa tahun belakangan, ditambah kerja keras para peneliti, menyebutkan fakta yang berseberangan dengan apa yang selama ini dikoar-koarkan sebagian besar orang. Dari yang tadinya diposisikan hina, malah ternyata beliau adalah orang yang terhormat pada komunitasnya. Jujur saja, kalau untuk ukuran jaman modern sekarang, yah... beliau ada pada posisi nomor dua dalam tampuk kepemimpinan. Dengan kata lain, untuk urusan pembagian warisan, beliau yang pertama mendapat warisan jika sang pemimpin wafat.
Sekarang kita tinggalkan sejenak kisah tersebut, untuk menerobos lebih dalam ke makna sesungguhnya. Kalau kita perhatikan, ada benang merah yang dapat ditarik, yaitu jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Dalam menyikapi segala sesuatu hendaknya tidak langsung bereaksi secara positif atau negatif. Seringkali dalam hidup, kebanyakan kita terlalu tergesa dalam menyimpulkan sesuatu. Sesuatu yang benar, kita bilang salah. Sesuatu yang salah, kita bilang benar.
Jika sudah demikian, saya jadi teringat dengan kata-kata yang terdapat dalam Kalama Sutta. Buddha menasehati bahwa :
1. Jangan menerima apapun hanya berdasarkan berita semata
2. Jangan menerima apapun hanya karena sudah menjadi tradisi
3. Jangan menerima apapun hanya karena desas-desus belaka
4. Jangan menerima apapun hanya dikatakan bahwa terdapat dalam kitab suci
5. Jangan menerima apapun hanya didasarkan pada logika atau argumentasi pribadi
6. Jangan menerima apapun hanya terpengaruh pada sosok tertentu
7. Jangan menerima apapun hanya seolah-olah terlihat benar
8. Jangan menerima apapun hanya dari pengalaman spekulasi pribadi
9. Jangan menerima apapun hanya karena terkesan dengan kemampuan tertentu
10. Jangan menerima apapun hanya atas pertimbangan bahwa "inilah guru kami"
Dalam terminologi buddhis disebut ehipassiko, yang kira-kira artinya harus dapat dibuktikan. Dalam teks pada buku tersebut tertulis kata yang sangat jelas, rasanya tidak asing ditelinga, yaitu "jangan menghakimi". Yup, ada pelajaran yang bisa dipetik, selanjutnya diaplikasikan pada keseharian.
Bukan berarti menjadi plin-plan, namun lebih kepada melihat dengan jelas dulu. Karena tuntutan dunia yang serba cepat, seseorang terbiasa dituntut untuk cepat pula dalam mengambil kesimpulan (decision making). Dan tidak jarang kadang-kadang keliru dalam menyimpulkan sesuatu. Maka diperlukan kebesaran jiwa untuk menerima dengan lapang dada, bila kesimpulan yang kita pilih ternyata keliru. Dengan kata lain, berani mengakui kekeliruan.
Semoga semua makhluk berbahagia,
Bebas dari penderitaan,
Bebas dari kebencian,
Bebas dari kesulitan jasmani,
Bebas dari kesukaran batin,
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaannya,
By : Tedy Ho
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar