Minggu, 10 Oktober 2010
Mutlak Abis!
Sekedar fakta, bahwa tidak ada satu pun negara didunia ini yang penduduknya rambut kribo semua. Atau kulit negro semua. Atau mata sipit semua. Atau hidung mancung semua. Yang pasti sedikit banyak, isinya campur-campur, yang beda komposisinya.
Ada yang mau protes fakta ini???
Hehehe… Ga ada kan, karena ini adalah mutlak abis!
Semua orang didunia ini ga mungkin dari kecil bisa sampai dewasa sendiri, tanpa bantuan orang lain. Entah itu mama, baby sitter, pembantu, dan lain-lain. Pasti ada campur tangan orang lain, siapa pun itu, yang beda intensitasnya.
Ada yang mau komplain???
Hehehe… Ngaku deh, karena ini adalah mutlak abis!
Terus, setelah dewasa, tua, dan meninggal. Masih aja butuh orang lain. Fakta, ga ada orang mati yang bisa ngubur atau kremasi mayatnya sendiri. Paling-paling anak, saudara, tetangga, atau pemerintah (kalo dikubur massal).
Ada yang merasa keberatan???
Hehehe… Pengen tau aja ada yang keberatan, karena ini adalah mutlak abis!
Satu lagi, didunia ini ga ada negara yang benderanya cuma satu warna. Paling sedikit pakai dua warna atau lebih. Mengapa begitu? Ya karena warna-warni lebih menarik.
Ada yang ga bisa terima???
Hehehe… Coba aja cek sendiri, karena ini adalah mutlak abis!
Sabtu, 24 Juli 2010
Menunggu Waktu
Yang kutahu hidup ini dibatasi waktu
Yang kutahu hari esok pasti tiba
Yang kutahu setiap bibit akan tumbuh tunas
Yang kutahu anak kecil akan beranjak dewasa
Waktu terasa cepat bagi yang menikmati kesenangan
Dan terasa lambat bagi yang menderita
Nafas kesenangan mengabaikan bumi yang dipijak
Nafas kesusahan peka sekeliling
Menunggu waktu salah satu kodrat manusia
Harapan selalu membumbung selagi menunggu waktu
Yang kutahu setiap manusia memiliki waktu masing-masing
Yang kutahu pasti akan tiba
TH 240710
Lelaki Paruh Baya
Sang rembulan hendak bersiap-siap meninggalkan tugasnya di langit, pada waktu yang bersamaan seorang lelaki terjaga bersiap-siap memulai tugasnya. Dari kerutan kulit yang mengendur diantara dagu dan leher, kontur rambut yang nyaris memutih seluruhnya, bisa dikatakan usianya tak lagi jauh dari maut. Namun jangan remehkan semangatnya yang tak kalah dari pemuda gagah.
*****
Begitulah kesan yang kutangkap setelah bertemu dan bertukar sapa beberapa kali, orang-orang memanggilnya Pak Kadu. Dalam gerbong yang sama, kereta ekonomi jurusan Karawang-Jakarta. Meski amat miris kondisinya, mungkin inilah model transportasi yang cocok bagi orang-orang berkantong cekak.
Seperti biasa, sebelum adzan subuh berkumandang dikejauhan, stasiun telah penuh sesak dengan arus manusia pencari harapan menuju kota metropolitan. Tak muluk harapan mereka. Hanya berharap menyambung hidup hari demi hari, dari penghasilan pas-pasan memerah tenaga.
Dikursi bagian dalam, persis tengah-tengah gerbong kereta, aku menempatkan diri dengan nyaman. Sambil menengok ke luar jendela, menunggu menit-menit pemberangkatan. Selang beberapa saat, klakson kereta berbunyi, tanda masinis menjalankan roda-roda kereta. Biasanya perjalanan Karawang-Jakarta menempuh waktu sekitar satu jam lebih. Disebut lebih karena tak mungkin kurang dari sejam, seringnya selalu lebih, maklum kereta ekonomi, entah alasan kerusakan mesin, entah alasan ada halangan pada jalur yang hendak dilalui, yang pasti tak ada kompensasi atas kehilangan waktu penumpang, hanya sekedar permintaan maaf yang kronis.
Beberapa saat kereta melaju, tiba-tiba ada tangan ringkih menepuk bahuku dari belakang. “Apa kabar, Nak?”, tegur lelaki paruh baya itu, yang tak asing lagi. “Oh, baik Pak”, sahutku setengah terkejut. Segera ia mengambil duduk disebelah kursi yang kebetulan kosong. Setelah menghela nafas sejenak, ia melanjutkan pembicaraan.
“Hari ini agak telat bangun, belum sempat mengisi perut, cuma menyeruput sedikit kopi hangat bikinan istri”, begitu gumamnya.
Ya, aku tahu, dari guratan diwajahnya terlihat penampilan yang kurang terbasuh air. Mungkin terburu-buru mengejar waktu yang mepet. Mengejar jadwal keberangkatan kereta. Telat menginjakkan kaki beberapa menit di stasiun, harus mengulang antrian kereta berikutnya.
Selama perjalanan ia tak henti berkisah tentang perjalanan hidup berliku, yang ia lalui sebagai buruh kontrak, selama puluhan tahun. Dari penuturannya, aku tahu ternyata beban hidupnya cukup berat. Dengan upah harian yang hanya cukup menutupi ongkos dan memberi makan keluarga seadanya. Lauk hewani amat langka tersaji sebagai hidangan harian. Pasangan tempe-tahu lebih biasa menemani nasi. Kadang baluran kecap manis atau taburan garam terasa nikmat menemani nasi, dikala menganggur, menunggu panggilan kerja berikutnya. Lebih baik daripada tak ada sesuatu untuk mengganjal perut, yang tiap hari minta di-isi.
Tanpa terasa tujuan semakin dekat, mengobrol sepanjang perjalanan dalam alat transportasi yang serba ekonomis, sungguh mengalihkan kejengkelan. Begitu terdengar suara mendecit rem, perlahan laju kereta berkurang teratur. Masing-masing bergegas menjejali area sekitar pintu kereta.
Perjumpaan singkat hari itu berakhir, terucap salam tanda memisahkan diri, lantai stasiun menjadi pijakan pertama di kota metropolitan dalam memulai peranan, aku sebagai pelajar, si lelaki paruh baya sebagai buruh kontrak harian.
*****
Hidup seperti komedi putar, mengulang ritme yang sama, berputar tanpa bergeser dari porosnya…..
Tak banyak pilihan bagi orang-orang berkantong cekak, segalanya serba terbatas. Bagi yang masih beruntung bisa menempuh pendidikan, tempuh sebaiknya. Untuk itulah pagi buta, hawa dingin, tak menghalangi bangkit dari tidur. Membasuh tubuh, mencicipi sarapan gorengan. Segera menuju stasiun, mengulang ritme yang sama, layaknya permainan komedi putar. Kali ini gerbong kereta agak sepi dari biasanya, suasana lenggang cukup terasa. Mungkin langit mendung dan gerimis tipis hari ini menghalangi langkah kaki mereka. Satu per satu penumpang kali ini cukup jelas berada dalam jangkauan pandangan. Tak seperti biasanya yang tampak mirip kerumunan orang di pasar tradisional. Semrawut!
Ternyata Pak Kadu telah mendahului diriku. Ia memilih tempat dikursi pinggir, agak depan dari gerbong. Tampak jelas dari kontur rambutnya yang khas, bergelombang pada ujungnya, dengan uban yang memenuhi kepala. Aku menghampiri, menyapa, dan meminta izin duduk dikursi sebelah dalam yang kosong.
Pada kesempatan bertemu pagi ini, wajah Pak Kadu kelihatan muram, tanpa rona semangat. Sepertinya memendam suatu persoalan yang mengaduk batin. Beban apa yang dihadapinya, sampai getaran gejolak batin turut mempengaruhi struktur garis-garis wajahnya. Lebih banyak diam daripada berbicara. Tak banyak kata yang meluncur dari bibirnya. Hanya tegur sapa pertama pas bertemu, tentu dengan ekspresi yang datar. Ragu rasanya melontarkan sebuah pertanyaan pemecah kebuntuan.
“Stagnasi!”, jerit batinku.
Kondisi suasana yang paling kubenci. Sungguh tak mengenakkan. Mau tak mau harus kuikuti arus suasana begini. Apalagi hati kecil tanpa keberanian untuk menerobos stagnasi dengan pertanyaan.
“Saya lagi bingung”, suara Pak Kadu mengalun setelah setengah jam hening sejak keberangkatan.
“Bingung kenapa, Pak?”, balasku penasaran.
“Minggu depan aku dan puluhan rekan tiba-tiba disuruh mengajukan pengunduran diri, tanpa alasan yang jelas”, jawab Pak Kadu. “Padahal harusnya masih enam bulanan lagi”, sambungnya. Ia lalu melanjutkan cerita pengalaman masa lalu yang pahit. Buruh nyaris tak memiliki posisi tawar yang bagus. Ternyata para korporat yang pandai berhitung itu, masih menganggap buruh sebagai faktor produksi belaka. Efisiensi berlandaskan hitungan kalkulator mengalahkan loyalitas, yang tentu saja tidak bisa dihitung kalkulator.
Sambil menerawang di kejauhan, Pak Kadu kembali bercerita, dulu dia dan beberapa rekannya pernah memperjuangkan ketidakadilan ini. Mereka berkumpul, berserikat, membentuk semacam wadah guna menampung aspirasi orang-orang senasib. Tapi tidak lama, keburu dibubarkan paksa. Stigma ekstrim kiri dialamatkan ke dirinya dan rekannya, antek komunis! Simbol palu dan arit dilekatkan ke dada. Masih segar dalam ingatan, bagaimana ia dan rekannya dilempar ke atas truk tentara, membawanya ke suatu tempat interogasi.
“Sudahlah, aku tidak mau mengingat teror menakutkan itu lagi”, sergahnya.
Mimiknya berubah, garis wajahnya mengerut, pengaruh ingatan momen kelam yang menstimulasi biokimia di otak. Sejenak ia menenangkan diri, menghirup udara segar pagi, lalu mengalihkan sedikit pandangan keluar jendela.
Meski sekarang iklim perimbangan kekuasaan telah berubah, namun tak serta merta ikut mengubah perimbangan daya tawar kaum buruh. Yang ujung-ujungnya tidak banyak mengubah garis hidup mereka.
Meski wajah korporasi semakin bersolek, tak lagi menampakan kesangaran, namun wajah buruh menyiratkan kecemasan, seperti yang barusan kulihat.
Beginilah buruh…
Disayang… dan melayang…
Sabtu, 10 Juli 2010
Arti Sahabat
Bersamamu aku bisa berbagi cerita,
Cerita tentang keberhasilan dan kegagalanku,
Sahabat…
Saat kau sedih aku menangis,
Saat kau terluka hatiku tercabik,
Saat kau gundah aku pun resah,
Sahabat...
Jangan kau anggap aku berbeda,
Aku adalah dirimu,
Aku adalah saudaramu,
Fatamorgana
Mengisi ruang langit yang cerah,
Terbawa arah angin yang tergantung musim,
Senantiasa silih berganti,
Kumpulan perasaan terasa nyata,
Mengisi relung batin yang cemerlang,
Terbawa arus suasana dan kondisi,
Senantiasa datang dan pergi,
Sabtu, 03 Juli 2010
Bebas?
~ Jean Paul Sartre ~
Kalimat tersebut meluncur dari seorang Perancis, filsuf terkemuka yang mengembangkan paham eksistensialisme (1905-1980). Menurut Sartre, setiap manusia adalah individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas. Bahkan saking hakikinya, beliau memilih kata yang agak keras, yaitu terkutuk. Secara harfiah condemned berarti terkutuk.
Dalam filosofi Sartre, kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Pandangan berupa embrio liberalisme kontemporer. Landasan menuju globalisasi segala sendi kehidupan. Model pengembangan yang terbanyak dianut pada milenium sekarang.
Tidak salah memang, Sartre berkata demikian, dalam aspek spiritual manusia, memang tidak terlepas dari fitur kehendak bebas (free will). Fitur tersebut tak bisa di interupsi, selama manusia itu sendiri eksis. Selaras Rene Descartes, “I think, therefore I am”, kenyataan bahwa yang pasti itu kemampuan berpikir, dengan derivatif berkehendak.
Bisa dipastikan milyaran umat manusia, dengan segala macam atribut, ingin memiliki kebebasan dan bertujuan mencapai kebebasan.
Dalam kaitannya dengan ranah spiritual Buddhisme, dinamai nirvana. Namun dalam Open The Door's Heart, kebebasan dalam perspektif Buddhisme terbagi dalam dua, yaitu freedom to desire dan freedom from desire (Ajahn Brahm, 2007). Dalam eksistensialisme Sartre, tampak kontras dengan yang pertama.
Karena eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan. Maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Meskipun terkadang dalam tindakan, tidak peduli mana yang benar, mana yang salah, sebab segalanya relatif menurut kaum eksistensialis.
Pertanyaan utama yang sering muncul dalam dialektika Sartre adalah apakah kebebasan itu? Bagaimanakah manusia yang bebas itu? Lantas apakah relevan menjawab dialektika Sartre menggunakan pendekatan Ajahn Brahm?
Apakah kebebasan itu hanya berada dalam wilayah yang sama, yaitu hasrat (desire) ? Apakah benar manusia yang bebas itu, bebas dari hasrat? Bagi Sartre, hasrat itu sendiri bagian dari kebebasan. Dan kebebasan manusia ini sifatnya ambigu. Di satu sisi hal itu berarti ia berhak untuk mewujudkan kemanusiaannya secara penuh, namun di sisi lain ia membuat kita merasakan kegelisahan.
Filosofi Sartre menekankan pada kemanusiaan yang erat kaitannya dengan perasaan, jiwa dan kehidupan. Tidak terpisahkan satu sama lain, utuh, satu kesatuan. Lebih tepatnya eksistensi mendahului esensi. Jadi sebelum manusia eksis tidak mungkin muncul esensi. Amat bertolak belakang dengan Ajahn Brahm dalam filsafat Buddhisme.
Tentu tidak mudah menjawab persoalan tersebut. Masing-masing memiliki argumen sendiri. Semuanya bebas berfilsafat, bebas menentukan selera masing-masing. Sebebas keputusan Sartre yang menolak hadiah nobel sastra tahun 1964.
TH 030710
Senin, 31 Mei 2010
Dibalik Tirai Isu Global
Abad 21 umat manusia telah mengenal segala macam ilmu pengetahuan, teknologi, dan pemanfaatannya. Salah satunya yaitu teknologi nuklir. Bagai pisau bermata dua, disatu sisi menakutkan, disatu sisi menggembirakan. Tergantung tujuan dan motif dibalik pemanfaatan teknologi tersebut.
Namun bagi para penguasa dunia, teknologi tersebut tidak boleh dimanfaatkan tanpa seizin dan dibawah pengawasan mereka. Dengan alasan yang terkesan dibuat-buat, para penguasa dunia, yang notabene negara-negara barat, menuding sejumlah negara terlibat pengembangan teknologi nuklir secara diam-diam, yang bertujuan untuk membuat senjata.
Dengan alasan keamanan global, negara-negara barat membatasi pengembangan teknologi nuklir. Takut jikalau digunakan sebagai alat perang dan mengganggu stabilitas dunia. Yang dianggap membangkang, akan dikucilkan beramai-ramai, kalau perlu digulingkan, meski dengan kekuatan senjata dan melanggar rasa kemanusiaan. Salah satu contohnya Irak.
Beberapa tahun usai sudah perang Irak melawan negara-negara barat, namun sampai hari ini tidak ada bukti resmi mengenai kepemilikan senjata pemusnah massal, seperti yang digembar-gemborkan. Ribuan nyawa terlanjur melayang, seluruh penjuru negeri porak-poranda.
Tak puas sampai disana, kini para penguasa dunia, mengarahkan moncong artilerinya kepada negara lain. Kali ini yang menjadi target bidikan adalah Iran dan Korea Utara, dua negara yang masih tersisa dalam konteks poros kejahatan (axis of evil). Dengan lobi internasional, menekan kedua negara tersebut agar tunduk terhadap keinginan para penguasa dunia.
Sekarang mari kita lihat, apakah alasan ketakutan para penguasa dunia tersebut, masuk akal atau tidak. Cukup gunakan logika sederhana, sedikit analisis, tak perlu rumit-rumit. Sejarah mencatat, sekali lagi, mencatat... Penggunaan teknologi nuklir untuk tujuan perang dan sebagai senjata, pertama kali di dunia, dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutu. Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak dihantam kebuasan teknologi nuklir.
Tak ada alasan yang bisa ditolerir. Kekalahan strategi dan taktik pasukan, dalam posisi tersudut, tak bisa dijadikan alasan untuk mencederai rasa kemanusiaan. Bukan isu politisasi yang hendak dibahas, namun rasa keadilan. Tak adil rasanya, jika segelintir pihak dituding akan menjadi raksasa buas bila menguasai teknologi nuklir.
Namun disatu pihak, yang telah menunjukkan kebuasannya malah tenang-tenang dan aman-aman saja memilikinya sampai saat ini. Kalau mau membangun tatanan dunia yang lebih bersahabat, tentu harus menjadi teladan dan contoh bagi yang lain. Apabila tak diperbolehkan, semua juga tak diperbolehkan. Jangan tebang pilih.
Patut diduga, bukan alasan keamanan global yang menjadi motif sesungguhnya. Bisa jadi telah terjadi inisiasi ideologi. Senjata nuklir digunakan sebagai alat penekan. Yang tak sepaham ideologi atau menolak mentah-mentah, dicarikan alasan agar sebisa mungkin mengikuti haluan ideologi yang sama. Misalnya, insiden tenggelamnya kapal fregat Cheonan, menurut sejumlah analis ada berbau konspirasi.
Entah sampai kapan, dunia ini jauh dari intrik, permusuhan, segala bangsa hidup dalam perdamaian. Saling menghormati hak masing-masing, tak memaksakan kehendak.
Semoga semua makhluk berbahagia dan selalu terhubung dengan sebab-sebab kebahagiaan.
TH 310510